Masyarakat Indonesia pada umumnya mampu mengidentifikasikan mana produk makanan yang halal dan mana yang tidak. Pada umumnya masyarakat melihat label sertifikat halal yang terletak dalam kemasan makanan tersebut. Ini cara yang paling mudah. Dan yang kedua melihat secara sekilas si penjual untuk menentukan halal tidaknya sebuah produk makanan.
Sebagai contoh, masyarakat yang membeli makanan yang dijajakan oleh rumah makan, atau pedagang kuliner lainnya, seperti bakso, mi ayam dan banyak produk kuliner lainnya. Masyarakat hanya melihat sekilas bahwa penjual adalah orang Muslim, atau mungkin sebagian masyarakat memberanikan diri untuk bertanya kehalalan barang yang dijual tersebut.
Namun masyarakat tidak melihat secara langsung atau mengetahui proses pembuatan bahan makanan tersebut. Selama tidak ada sertifikat halal yang ditempel oleh penjual makanan di tempat berdagangnya, maka masyarakat atau pembeli akan melihat profil (latar belakang khususnya agama) si penjual. Padahal profil si penjual ini tidak sepenuhnya menjadi jaminan bahwa barang dagangannya tersebut halal.
Karena kebanyakan masyarakat awam hanya melihat profil. Terkadang masyarakat justru terjebak dalam kebingungannya sendiri. Yakni mengeneralisir atau menjustifikasi bahwa produk makanan yang dihasilkan (dibuat) oleh orang non-Muslim sudah pasti haram. Namun, masyarakat tersebut justru juga mengkonsumsi mi instan merek ternama yang jelas-jelas perusahaan mi tersebut dimiliki non Muslim.
Atau masyarakat juga banyak mengkonsumsi kuliner buatan masyarakat lokal ternama, yang jelas pemiliknya non-Muslim. Namun masyarakat merasa nyaman mengkonsumsi barang dagangan non-Muslim tersebut, karena barang yang dijual sudah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (BPJPH – LPPOM MUI). Jadi jelas fungsi serta kehadiran sertifikasi halal sangat vital bagi masyarakat khususnya masyarakat Muslim yang membutuhkan jaminan halal dari produk yang dikonsumsi masyarakat.
Jika melihat di sekitar kita, maka ada banyak rumah makan ataupun pedagang kuliner yang jelas-jelas belum mendapatkan sertifikasi halal untuk barang dagangannya. Ini tantangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) agar bisa mensertifikasi pedagang ataupun rumah produksi. Baik itu yang kelasnya industri besar, menengah, kecil hingga mikro, agar bisa diarahkan atau bahkan diwajibkan untuk mendaftarkan usahanya supaya mendapatkan sertifikat halal.
Halal itu bukan hanya tempelan bahasa Arab sederhana “????” ataupun kata-kata yang ditempelkan “Halal” pada barang dagangannya. Namun halal yang sudah benar benar teregistrasi di BPJPH, setelah melalui proses pemeriksaan oleh LPPOM MUI.
Nah, itu merupakan salah satu kebutuhan sertifikasi halal di produk yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Bagaimana dengan produk keuangan yang ada di masyarakat kita? Dan saya menilai sertifikasi halal juga sangat dibutuhkan di sini dan urgensinya tinggi. Jika, Masyarakat dengan mudah melihat atau mungkin membedakan produk makanan yang halal dan yang tidak, namun di industri keuangan, masyarakat justru sangat kesulitan dalam membedakannya.
Kalau untuk membedakan mana bank syariah dan konvensional, masyarakat Muslim akan dengan mudah membedakannya. Dengan melihat tampilan logo perusahaan saja, masyarakat dengan mudah membedakan mana produk keuangan Bank yang halal dan mana yang tidak.
Tetapi tidak berhenti sampai disitu. Masyarakat yang pada umumnya kritis dalam menilai sebuah produk keuangan perbankan, juga kerap menafsirkan sendiri perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional. Nah, di sini, tanpa didampingi dengan pengetahuan ataupun penjelasan yang cukup, masyarakat bisa saja terjebak dalam kesesatan dalam menyimpulkan kehalalan dari produk perbankan syariah.
Tidak bisa dipungkiri, masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan jasa perbankan konvensional, cenderung membandingkan produk perbankan syariah dari sisi teknis pelayanannya saja. Misal tidak sedikit masyarakat yang cenderung menyimpulkan bahwa bank syariah dan konvensional itu sama saja. Kalau sudah sama, maka bank syariah ini juga tidak halal.
Kesimpulan seperti itu muncul akibat masyarakat yang tidak memahami akad-akad yang ada di perbankan syariah. Katakanlah saat masyarakat mendapatkan pembiayaan kendaraan dari perbankan syariah untuk kendaraan bermotor. Masyarakat hanya melihat besaran cicilannya setiap bulan, uang muka, dan besaran nominalnya.
Masyarakat awam tidak mengetahui secara rinci, di mana letak perbedaan antara bank syariah dan konvensional. Terlebih pegawai bank syariah atau SDM-nya juga tidak mumpuni dalam memberikan pemahaman kepada nasabahnya tersebut. Dan keadaan lebih buruk lagi, jika si nasabah hanya bersikap pragmatis, hanya dengan melihat mana yang memberikan keuntungan secara finansial jika menabung atau mendapatkan pinjaman dari bank syariah atau bank konvensional.
Di industri keuangan lainnya seperti pasar modal juga seperti itu. Teknologi yang berkembang dan menopang transaksi keuangan di pasar modal, kerap dipersamakan dengan transaksi keuangan yang ada di perusahaan futures atau berjangka. Masyarakat yang pada umumnya mengetahui bahwa transaksi jual beli saham secara elektronik, hanya dengan menekan tombol jual beli saham di Bursa Efek Indonesia, termasuk juga saham yang masuk dalam kategori halal seperti Jakarta Islamic Index/JII.
Dengan hanya berlandaskan teknis transaksi seperti itu, banyak masyarakat yang hanya menyimpulkan bahwa transaksi indeks saham lewat futures juga tidak berbeda. Dan masyarakat dengan pemahamannya sendiri menyimpulkan bahwa transaksi futures juga halal. Padahal teknis transaksi yang mirip atau bahkan serupa, bukan jaminan bahwa jual belinya juga mendapatkan fatwa yang sama (halal).
Belum lagi kalau masyarakat awam yang kesulitan membedakan mana SUKUK dan Obligasi Konvensional. Masyarakat juga terjebak dalam kebingungan karena sulit membedakan jika seandainya SUKUK memberikan imbal hasil tetap, sementara obligasi konvensional seperti ORI juga memberikan bunga tetap. Dan lagi-lagi masyarakat berkesimpulan bahwa SUKUK pada dasarnya juga riba. Ini bentuk ketidakfahaman yang berujung kepada kesesatan.
Selain itu, di tengah masyarakat kita juga kerap muncul beragam produk investasi bodong yang kerap meresahkan. Bahkan tidak sedikit pemuka agama atau seorang tokoh masyarakat islam juga terjebak ikut memasarkan produk bodong tersebut. Pengetahuan yang minim seorang pemuka agama dalam memahami produk keuangan syariah. Ditambah masyarakat awam yang hanya melihat profile pemuka agamanya, membuat banyak masyarakat tertipu dengan produk keuangan bodong tersebut.
Jadi saya berkesimpulan bahwa saat ini umat Muslim di tanah air memasuki fase darurat produk halal, dikarenakan banyak produk baik itu keuangan, makanan, maupun produk lain yang beredar di masyarakat belum bisa dipastikan kehalalannya, karena belum tersertifikasi di BPJPH. Untuk itu saya merekomendasikan 4 hal.
Pertama, pemerintah melalui BPJPH tidak lagi hanya menunggu pelaku usaha secara sukarela mendaftarkan perusahaannya untuk mendapatkan sertifikasi halal. Tetapi BPJPH harus menjemput bola, atau bahkan menelurkan sebuah kebijakan agar dunia usaha sesegera mungkin mendaftarkan perusahaannya untuk mendapatkan sertifikat halal. Terlebih dunia usaha yang produknya sangat sensitif dengan keyakinan umat Islam.
Bila perlu BPJPH melakukan penelusuran dan mewajibkan pelaku usaha yang seharusnya mendapatkan sertifikasi halal. Dan memberikan sanksi bagi sejumlah dunia usaha yang tidak memiliki sertifikasi halal tersebut. Dalam konteks ini, penguatan dan implementasi fatwa sangat dibutuhkan. Termasuk juga menambah sumber daya manusia ahli di dalamnya.
Kedua, pemerintah melakukan kampanye agar masyarakat Muslim hanya membeli dan menggunakan produk yang memiliki sertifikasi halal dari BPJPH. Serta mengkampanyekan agar dunia usaha sesegera mungkin untuk mendaftarkan perusahaannya agar mendapatkan sertifikat halal. Dan memberikan rincian perusahaan di sektor apa saja yang harus mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH.
Ketiga, dunia usaha memiliki kewajiban untuk mendaftarkan usahanya agar mendapatkan sertifikat halal. Khusus untuk industri keuangan, SDM di perusahaan tersebut harus mampu memaparkan kehalalan produk yang dijualnya kepada masyarakat.
Keempat, masyarakat hanya membeli dan menggunakan produk halal, baik itu produk konsumtif maupun jasa keuangan, yang sudah tersertifikasi oleh BPJPH. Bila perlu masyarakat mengecek langsung kehalalan produk yang dijual, dengan mencocokkan nomor sertifikat halal yang terlampir dengan sistem yang ada di BPJPH.
Dengan begitu, sinergi dan kolaborasi keuangan syariah dan industri halal dapat tercipta. Dengan harapan masyarakat dapat mendapatkan barang maupun jasa yang sesuai dengan prinsip prinsip syariah.
===
*Arifa Pratami, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sumatera Utara.
artikel telah terbit di : http://www.medanbisnisdaily.com/m/news/online/read/2019/11/11/92219/sinergi_dan_kolaborasi_keuangan_syariah_dan_industri_halal/